Korban Longsor Cianjur Siap Direlokasi
Senin, 15 Maret 2010 | 11:46 WIB
BANDUNG, KOMPAS - Pemerintah daerah di Jawa Barat harus tanggap dengan risiko bencana alam yang rentan terjadi di wilayah berpenduduk 42,1 juta jiwa ini. Konsep tata ruang dan wilayah seharusnya juga mengindahkan risiko bencana alam, yakni dengan tidak mengizinkan pendirian permukiman di daerah rawan bencana alam, baik longsor, gempa bumi, maupun banjir.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, Minggu (14/3), mengatakan, penataan ruang yang serius diperlukan untuk mencegah timbulnya korban jiwa setiap kali bencana terjadi. Khusus untuk Jabar, Surono mencatat masih banyak aktivitas warga, termasuk permukiman, yang berada di daerah dengan kemiringan sedang hingga terjal.
Kondisi itu seperti ditemui pada bencana longsor belum lama ini di Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung, dan Desa Sukamekar, Kabupaten Cianjur. Longsor sama-sama terjadi di daerah lembah yang berbatasan langsung dengan tebing gunung dengan pepohonan lebat dan kemiringan hingga 80 derajat. Kedua kejadian longsor itu juga sama-sama mengikuti alur lembah di mana ada aliran air atau sungai.
"Daerah yang terletak pada kontur tanah dan lokasi semacam itu amat rentan terhadap gerakan tanah. Jika terjadi gerakan tanah, yang bisa jadi dipicu oleh hujan, daerah itu langsung tertimbun material longsoran," katanya.
Aliran air yang banyak ditemui di lembah memang sangat baik bagi usaha cocok tanam warga. Pada banyak kasus, warga nekat bertahan di lembah yang rentan longsor karena mereka amat bergantung secara ekonomis pada lokasi itu. Banyak warga di daerah perbukitan berprofesi sebagai petani dan memperoleh keuntungan dari daerah lembah yang subur.
Ciri permukiman warga pun ingin mendekati sungai atau sumber air. Tidak aneh jika kedua kejadian longsor besar baru-baru ini di Desa Tenjolaya dan Desa Sukamekar menimpa permukiman warga yang berdekatan dengan aliran sungai. "Ini bentuk tata ruang atau permukiman klasik, yakni selalu berdekatan dengan air," ujarnya.
Paling siap
Terkait dengan penataan ruang berbasis risiko bencana, Jabar sebenarnya paling siap. Sejak tahun 2002 pemda setempat memiliki peta dan zona kerentanan gerakan tanah di semua kabupaten. Mengenai wilayahnya yang tergolong rawan longsor, setiap bulan Gubernur Jabar menerima peringatan dini dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
"Pemda tidak perlu tunggu rekomendasi untuk merelokasi warga di daerah rawan bencana. Biaya untuk itu memang mahal, namun nyawa manusia lebih berharga," kata Surono.
Pegiat lingkungan dan sosial, Dadang Sudardja, mengatakan, relokasi warga di daerah rawan bencana tidak bisa semena-mena. Aksesibilitas warga terhadap sumber-sumber kehidupan dan ekonomi harus tetap dijamin. "Warga umumnya tidak ingin dipindahkan jauh dari ladang sehingga lahan relokasi pun sebaiknya dilengkapi dengan jalan yang layak sehingga mereka tidak kesulitan menuju lahan," ujarnya. Hal yang paling susah ialah memberi pengertian kepada warga bahwa mereka tinggal di daerah rawan bencana dan harus pindah. Tokoh-tokoh warga harus dilibatkan dalam proses ini.
Sementara itu, sejumlah warga korban longsor Cianjur mengatakan siap direlokasi dari daerah yang mereka tempati. Uwad (50), warga RT 1 RW 3 Kampung Leuwinanggung, Desa Sukamekar, mengaku takut kembali ke rumahnya. "Kakak saya jadi korban longsor. Saya takut nanti ada longsor susulan dan rumah saya yang jadi korban," katanya. Saat ini 19 warga diungsikan di halaman Kantor Kecamatan Sukanagara sebelum ada kepastian lokasi rumah bambu bagi mereka. (REK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/15/11463786/tata.ruang.harus.perhatikan.bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar